BUNGA TERSIMPAN
Namaku Sabrina Putri, tapi
keluargaku memanggilku "Bunga". Aneh memang, entahlah. Kata nenek,
aku dipanggil Bunga karena bunda suka bunga, bunga itu cantik dan penuh warna.
Padahal menurutku, bunga itu gak ada arti, kenapa? ya karena seseorang susah
payah menanam bunga agar iya mekar indah, setelah itu dipetik dibuat hiasan
atau diberikan pada orang lain yang nantinya juga layu alias jadi sampah. Ya
itu menurutku, terserah orang lain berkata apa. Entah apa yang dipikirkan
mereka memberiku nama asli yang berbeda dengan nama panggilan. Well, kenyataan
ya memang sudah terjadi, bunga tetap tidak berarti bagiku.
Berbeda dengan teman-temanku dari
dulu, memanggilku "Sab". Iya, itu nama awalku. Nama panggilan yang
terdengar lebih menyenangkan dibanding Bunga. Aku anak tunggal, dan aku hidup
dikeluarga yang biasa saja. Aku mencintai orangtuaku. Aku ingin membuat mereka
bahagia, tapi entah kapan. Aku hanya ingin menjalani hidup ini, dan akan
berakhir entah kapan. Mungkin nanti, disaat aku sudah tidak berpikir bunga itu
sampah "Hahaha".
Saat ini umurku 17 tahun. Mungkin
masa-masa terindah buat anak muda umur 17 tahun adalah masa-masa yang
dinantikan. Itu sih buat anak SMA, sedang aku sudah masuk kuliah di salah satu Universitas
di Solo. Teman-teman baru saat kuliah tak ada yang peduli denganku, bahkan
teman SMA ku sendiri biasa saja. Oiya pacar? mungkin dia sudah ditelan ombak,
terus masuk kepusaran laut. Dia cuma laki-laki sial yang gak tau diri. Kadang
aku menertawakan diriku sendiri akan hal itu, wanita bodoh yang mencintai
laki-laki pengkhianat. Selingkuh dengan sahabatku sendiri sewaktu SMA. Sahabat
juga ternyata pengkhianat yang sejati. Tetapi, aku tak perlu membalas semua
itu. Aku percaya Tuhan, karma itu pasti akan datang untuk mereka. Yang perlu
aku lakukan saat ini hanya fokus dengan kuliahku, dan ya, aku memang menutup
hatiku.
Hari-hariku selama kuliah terasa
semakin biasa saja. Aku hanya merasa takut. Mungkin takut yang berlebihan. Aku
takut jatuh cinta. Aku hanya tidak ingin terlalu dekat dengan teman-teman
laki-laki di kelasku atau siapapun. Aku tahu setiap manusia dilahirkan berbeda,
mereka punya garis hidup masing-masing. Tapi, untuk saat ini, aku melihat
laki-laki itu sama.
***
Hari terus berganti hari, dan aku
hanya merasa datar penuh beban. Aku masih sakit, hati ini sesak rasanya. Tiba-tiba
aku teringat kejadian masa lalu tersuramku ku dengan mantanku, dia hampir saja
merenggut kehormatanku
“Laki-laki brengsek!” kataku dalam
isakan tangisku.
Aku hanya diam menangis sendiri dikamar.
Bagaimana kalo teman-teman ku tau? Apa mereka bisa menerimaku? Apa mereka malu
berteman denganku?.
“Oh Tuhan, hati ini sakit rasanya” kataku
lirih.
Cepat-cepat ku usap air mataku. Aka
tak ingin terus terpuruk seperti ini, aku harus menyibukkan diriku sendiri. Aku
teringat, aku masih punya orang-orang yang begitu menyayangiku dan aku tak mau
menyiakan itu.
***
Aku kuliah di jurusan sastra
Indonesia. Terlalu tinggi bagiku untuk berkhayal masuk kedokteran seperti
nenekku. Aku mungkin dipandang sebelah mata oleh orang-orang sekitarku seperti
keluarga besar nenekku sendiri. Biarlah, tapi aku senang menjalaninya. Aku bisa
menuliskan semua inspirasiku disini, dikertas kusam ini. Negara ini sudah penuh
sarjana nyinyir. Dunia ini sudah terlalu basah untuk ditangisi. Dan hidup ini terlalu
singkat untuk tak berbuat.
Suatu hari, aku bertemu dengan seorang
teman laki-laki yang menyenangkan. Dia anak jurusan akuntansi. Dia masih satu
universitas denganku. Kita bertemu saat ada acara seminar kewirausahaan. Nama
dia adalah Putra Aiman Satya. Dia lebih suka dipanggil Puya. Saat itu dia duduk
di sebelahku. Dia menyapaku dengan ramah, dan mengajakku berbincang dengannya.
Dari yang aku tangkap selama berbicara dengannya, baginya bisnis adalah
segalanya, dan itu salah satu alasan dia ambil jurusan akuntansi. Setelah acara
berakhir, kami bertukar nomor handphone. Dia berjanji padaku untuk bisa bertemu
lagi dan saling bertukar pikiran. Menyenangkan sekali punya teman baru seperti
itu, berharap aku takkan jatuh cinta dengannya.
“Ah, apa sih yang ada dipikiranku
ini? Konyol, hahaha.” Aku tertawa sendiri.
***
Setiap hari kami saling
menghubungi. Makan siang bersama, dan kadang pulang bersama-sama jika jadwal
kuliah kita sama. Aku selalu mendapat banyak ide darinya untuk tugas-tugasku. Dia
selalu membuatku tersenyum.
Semenjak itu hari-hariku terasa
menyenangkan. Aku merasa penuh semangat. Aku senang.
“Tuhan, apakah aku merasakannya
lagi? Aku harap tidak akan.”, tanyaku dalam hati.
Aku berharap semuanya akan berjalan
terus seperti ini. Aku merasa terlalu nyaman dengan keadaan ini. Aku hanya
ingin seperti ini dan tak lebih.
Sore ini tiba-tiba dia menelpunku.
“Sab, kamu mau nonton gak? Film
baru nih, aku pengen nonton, gimana?”
“Nonton? Sama siapa aja?”, tanyaku
bingung.
“Hahaha, emang kamu gak nyaman ya
kalo sama aku aja? Biasanya kan kita pergi berdua.” Katanya mengejek.
“Nggak papa kok, kamu yang bayarin
ya? Kan kamu yang ngajak nonton.”, aku berbasa-basi.
“Masa cewek kayak kamu mau minta dibayarin
sama cowok pengangguran?”
“Yaelah bercanda kali, ntar aku
bayar sendiri. Santai aja.”, kataku.
“Kalo misal kamu pacar aku ya aku
bayarin. Apa aja yang kamu minta aku kasih, selama aku masih bisa ngasih dan
punya uang. Ya itu, kalo kamu pacar aku.” Katanya panjang lebar.
“Ini apaan sih ngomongnya jadi
panjang lebar gini? Kenapa jadi ngomong pacar deh? Yaudah, aku siap-siap mandi
dulu ya.”, kataku menyudahi.
“Oke, ntar kalo udah langsung aku
jemput.”
Dan kita pun mengakhiri
pembicaraan. Setelah siap, dia langsung menjemputku. Seperti biasanya sepanjang
jalan kita bercanda. Entah kenapa aku merasa salah tingkah waktu itu. Setelah
sampai di tempat tujuan. Dia langsung pesen tiket. Karena jadwal nontonnya
masih nunggu sejam lagi, kita makan eskrim dulu deh di food court.
Cerita-cerita, ngehabisin waktu, dan sampai akhirnya kita nonton.
“Ah ini kenapa duduknya paling
depan sih? Ga enak banget!”, Omelku dalam hati.
“Maaf ya, soalnya udah kehabisan
kursi, jadi kita tinggal dapet disini.”, katanya merasa tak enak.
“Iya ga papa kok.”, aku tersenyum.
Dalam hatiku bilang, “Ini orang
bisa baca pikiran aku kali ya, keren juga, haha.”, aku senyum-seyum sendiri.
“Eh, kanan kiri kita orang pacaran
semua ya.” Katanya cengar-cengir.
Aku hanya tersenyum. Entah apa yang
ada dipikirannya, aku pun bingung.
Setelah acara nonton itu selesai,
kita pun langsung pergi makan malam. Aku merasakan suasana malam itu
benar-benar berbeda.
Dan akhirnya kita pulang. Dia
mengantarku sampai depan kostku.
“Makasih ya.”, kataku.
“Iya sama-sama.”, balasnya dengan
senyuman.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu, “Eh
bentar, uangnya belum aku ganti tadi makan sama nontonnya”.
“Gak usah, nanti aja kalo aku
butuh. Kalo gak, gantiin nemenin aku lagi. Udah ya.”, jawabnya.
“Yaudah hati-hati. Makasih.”, kataku
lagi.
Diapun tersenyum dan pergi. Malam
itu aku benar-benar merasa jantungku berdegup cepat.
“Tuhan, ada apa dengan perasaanku
ini? Yakinkanlah hamba, jika hamba benar-benar memiliki perasaan ini untuknya.
Amin.”, Aku berdoa dalam solatku.
***
Sudah satu semester aku dekat
dengannya, tapi semua ini tak berujung kepastian. Dia semakin aneh menurutku. Dan
setahun lebih sudah. Awalnya dia begitu manis, bahkan dia pernah memanggilku
dengan sebutan “Sayang” dan dia juga pernah mengatakan suka padaku, tapi hanya
sebatas itu tanpa memberi kejelasan. Semakin lama, aku semakin tak bisa menebak
apa yang ada dipikarannya. Dia tiba-tiba mulai menjauh dariku. Aku berpikir,
apakah aku pernah melakukan kesalahan padanya? Apakah dia ragu denganku karena
masa laluku yang pernah ku ceritakan padanya? Apakah dia sudah tak bisa
menerima kehadiranku? Kenapa hal ini terjadi lagi pada ku lagi?. Kali ini aku
benar-benar merasa kehilangannya.
Aku beranikan diri untuk berkata
apa yang aku rasakan padanya. Ya, aku tau aku memang wanita. Hakikat sebagai seorang
wanita yang harus menjaga keanggunannya bagi kebanyakan orang. Tapi, hal ini
akan membuatku semakin tak jelas. Aku membutuhkan banyak keberanian, sangat
banyak. Hal yang tak pernah ku lakukan, dan aku memulainya.
Aku menelpunnya dan dia menjawab, “Puya,
aku bisa ketemu kamu sebentar aja, bisa? Ada yang mau aku omongin?”, tanyaku.
“Mau ngomong apa? Emang ga bisa ya
diomongin disini aja?”, tanya dia kembali.
“Gak bisa, aku cuma mau ngomong
sebentar aja, kita ketemu di tempat makan biasa ya.”, kataku.
“Oke, aku kesana.”, balasnya.
Dan aku langsung mematikan HPku.
Kita pun akhirnya bertemu. Sampai akhirnya percakapan pun dimulai,
“Kamu mau ngomong apa?”, dia
bertanya lebih dahulu.
“Kita itu sebenernya gimana? Kenapa
kamu tiba-tiba jadi aneh, ngejauh dari aku? Apa aku ada salah sama kamu? Aku
capek digantung terus sama kamu Pu! Aku cuma butuh kepastian.”, aku mulai
bertanya.
“Kita? Ya, kita temenan biasa. Aku
gak cocok aja sama kamu. Ya biasa ajalah. Anggap aja waktu aku bilang suka kamu
itu kemaren, sekarang gak. Aku tuh suka berubah, dan gak suka dituntut. Aku gak
maksa kamu buat ikutin aku, tapi kamu harus hati-hati ngomong sama aku. Kalo
kamu pengen jelas, ya kita temenan biasa. Dan aku harap setelah ini gak ada
yang perlu dibahas tentang kita. Tapi, makasih buat semua yang kamu lakuin buat
aku, itu berarti banyak buat aku.”, jelasnya.
“Kamu.. Jadi kemaren maksud kamu
apa? Sebisa mungkin aku ngelakuin apa yang kamu mau Pu. Kenapa kamu ga pernah
jelasin ini dari awal? Kenapa!”, aku berbicara sambil menangis.
“Aku sayang kamu Pu. Dan aku tau
mulai saat ini kita bener-benerr gak ada apa-apa, aku bakal coba buat jadi
teman buat kamu. Makasih.”, aku pergi sambil menyeka air mataku.
Aku merasa benar-benar rapuh.
Kenapa hal ini harus terjadi untuk yang kedua kalinya padaku?. Aku merasa
benar-benar bodoh. Aku terlalu banyak berharap, yang berakhir begitu sakit. Aku
tak percaya cinta. Semua itu hanya omong kosong buatku. Aku harus mencoba dari
awal lagi. Itu semua harus berakhir. Aku selalu ingat bahwa dunia sudah terlalu
basah untuk ditangisi.
***
Hari-hariku, ku penuhi dengan
menyibukkan semua kegiatan kuliahku. Selama setahun kemudian, aku berpacaran
dengan teman sekelasku sendiri. Diam-diam dulu sebenarnya dia selalu
memperhatikanku dan mencoba membantuku ketika aku merasa kesulitan. Sayangnya,
aku tak pernah sadar selama itu, aku terlalu sibuk dengan Puya. Yah, lupakan.
Saat ini aku sudah dengan Damar. Aku pun tak tau kenapa aku bisa menerimanya
begitu saja, walaupun aku sendiri tak pernah tau apakah aku ada perasaan
dengannya. Aku harap dia yang terbaik untukku. Kali ini aku benar-benar berharap
untuk terahir kalinya.
Aku mulai membiasakan diri dengan
Darma. Ya, setidaknya dia mulai membuatku merasa lebih baik. Hingga suatu
malam, saat makan malam dengannya, dia berkata padaku,
“Sab, setelah kita selesei skripsi
nanti, dan wisuda, aku akan menemui orangtua kamu ya? Aku sayang kamu Sab.”
“Hah? Apa? Kamu serius? Terus
pekerjaan kamu?”, kataku terkejut.
“Hmm, Ayahku pengusaha kain tenun
di kampungku, aku yang akan meneruskan usahanya dan aku juga menanam saham di
berberapa perusahaan temanku dikampung, dari hasil aku bantu usaha ayahku, buat
jadi modal usahaku juga. Aku juga punya proyek untuk usahaku kedepan nanti. Kalo
kamu udah jadi istriku, nanti kamu akan tau. Tapi, perlu kamu tau, aku cuma
pengusaha biasa.”, jelasnya hati-hati padaku.
“Kenapa kamu ngejelasin semua ini
baru sekarang? Aku kira kamu...”, tiba-tiba pembicaraanku dipotong olehnya.
“Kamu kira aku main-main sama kamu
dan ga jelas pekerjaanku apa? Hahahaha,,,, sebagai laki-laki aku juga pengen nguji
pasanganku, apakah kamu cukup sabar dan bener-bener bisa nerimaku apa adanya
atau gak? Dan ternyata kamu bisa, aku suka itu.”, katanya sambil tersenyum.
“Makasih Damar.”, aku menangis
terharu akan kata-katanya.
“Udah sayang, gitu aja nangis.
Kasian tuh makanannya dingin, ntar aku habisin nih. Hahaha”, kata Damar menggodaku.
“Yee, siapa yang nangis! Enak aja!
gak boleh, makanannya malem ini rasanya jadi enaaaaak bangeeeeet,, hahaha..”,
aku melanjut makanku dengan rasa senang.
Makan malam itu tiba-tiba terasa
begitu menyenangkan dipenuhi canda olehnya. Malam yang begitu indah untukku dan
untuknya. Aku merasa begitu senang.
***
Usai sudah skripsiku. Sebelum ujian
skripsi, aku sempatkan diriku untuk pulang kampung ke Jakarta. Meminta doa dari
kedua orangtuaku agar aku dimudahkan dalam segala urusanku.
Sesampainya dirumah, aku mencium
kedua tangan orangtuaku. Betapa aku begitu merindukan mereka. Setelah
berbincang-bincang sebentar dengan mereka. Aku masuk ke kamarku, kamar yang
sederhana tapi selalu membuatku merasa nyaman. Aku rebahkan tubuhku diatas
kasur. Sejenak aku melihat setangkai bunga mawar merah diatas mejaku. Ada surat
disamping bunga itu. Aku hampiri mejaku, ku buka surat itu dan ku baca,
Assalamu’allaikum..
Hai Bunga Cantik,
Masih ingat sama aku yang gak tau diri ini?
Hahaha,, Laki-laki yang aneh, yang gak jelas gimana jalan
pikirannya.
Maaf kalau aku lancang menulis surat untukmu.
Gimana kabar skripsimu? Aku dengaer kamu sudah selesai. Selamat
ya..
Bunga,,
Bagaimana kabarmu? Sudah lama aku tak pernah menemuimu.
Langsung aja ya Sab, mungkin sampai sekarang kamu bertanya-tanya kenapa
aku tega ngelakuin semua itu sama kamu.
Aku mau kamu kuat, aku juga punya perasaan yang sama denganmu. Tapi,
aku takut, aku takut akan membakar habis cintamu. Aku selalu mengamatimu, waktu
aku udah gak dekat sama kamu. Aku tau, kamu sudah punya pacar. Kamu terlihat senang.
Tapi aku gak tau apa kamu merasa bahagia selama itu.
Maafin aku Sab, kalau aku tiba-tiba hadir di kehidupan kamu lagi.
Sab,,
Bunga itu cantik dan penuh warna, seperti dirimu, kamu pasti akan
tau nanti..
Mungkin ini saat yang tepat untuk aku bilang sama kamu.
Aku akan melamar kamu, setelah kamu sudah wisuda nanti.
Aku sudah menemui orang tuamu seminggu yang lalu, dan aku
menitipkan surat ini ke orangtuamu esok harinya.
Bunga, Sabrina Putri, maukah kamu menjadi pasanganku?
Akan kutunggu jawabanmu saat kamu pulang dari wisuda nanti.
I love you, Dear.
Puya
Kenapa ini? Hatiku tiba-tiba kaku.
Aku menangis untuk yang kesekian kalian. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?
Siapa yang harus aku pilih. Jujur aku masih menyayangi Puya. Tak ku sangka dia
telah menemui orang tuaku lebih dahulu. Tapi, bagaimana dengan Damar?.
“Ya Allah..”, aku menangis.
Bunda yang tak sengaja mendengarku menangis
di balik kamar menghampiriku.
“Ada apa Bunga sayang?”, tanya
bunda halus.
“Ini apa maksudnya bun? Kenapa bunda
baru ngasih tau sekarang?.” Ku tunjukkan surat Puya pada bunda.
“Sayang, Bunda takut mengganggu
konsentrasi kuliah mu disana, kamu sibuk ngurus skripsi kamu, seminggu yang
lalu dia memang datang kerumah. Dia meminta ijin pada Bunda untuk melamarmu.
Menurut Bunda, dia laki-laki yang baik. Tapi, bunda gak bisa ngasih keputusan
langsung. Bunda menyuruhnya tanya langsung sama kamu, kamu yang lebih berhak
mengambil keputusan semua ini, karena nantinya kamu sendiri yang akan
menjalaninya. Bunda hanya merestui kalian.”, jelas bunda hati-hati padaku.
“Ah bunda...”, aku memeluk bunda
sambil menangis, menceritakan semua tentang dia dan Puya, dan juga menceritakan
tentang Damar.
“Bunga sayang, kadang kita terlena
dengan kehidupan yang kita jalani, bahkan kita tak pernah tau bagaimana
akhirnya. Bunda selalu mendoakan yang terbaik untukmu. Kamu sudah dewasa, bagaimana
pun kamu yang berhak memutuskan sendiri untuk memilih.”, kata bunda sambil
mengusap rambutku.
“Menurut Bunda?”, tanyaku penuh harap.
“Berdo’alah nak, minta petunjuk
sama Allah.”, kata Bunda tersenyum.
Aku memeluk Bunda erat, entah pada
siapa lagi aku akan bersandar saat seperti ini. Kata-katanya selalu
menyejukkanku.
***
Setiap malam, aku selalu berdoa,
berharap aku menemui jawabannya. Aku benar-benar butuh menenangkan diriku.
Sudah lima hari aku dirumah, dan
aku akan kembali kekampusku menghadapi ujian skripsiku.
“Alhamdulillah”, ku ucapkan Puji
syukur pada Tuhanku. Aku dinyatakan lulus dan Cumlaude. Sebulan kemudian, aku
akan menghadapi wisudaku.
“Sayang, selamat ya! Kamu emang
wanita yang cerdas.”, Damar mengucapkan selamat padaku sambil mengusap-usap
kepalaku.
“Makasih ya, sebulan lagi kita
wisuda.”, kataku.
“Iya, dan seperti janjiku aku akan melamarmu.
Aku akan pulang ke Riau sekitar dua minggu. Dan ngabarin semua ini sama mereka.
Tunggu ya sayang.”, katanya penuh semangat.
Aku hanya tersenyum, entah apa yang
harus aku jelaskan padanya. Aku juga tak ingin kehilangan Damar. Aku tak ingin
mengecewakan Damar. Dia tak pernah menyakitiku. Mungkin aku memilih Damar,
bukan Puya.
Ya aku akan memilih Damar.
***
Seminggu sudah Damar berada
dirumahnya dan dia terus menghubungiku. Aku juga pulang kerumah untuk beberapa
hari, dan mempersiapkan wisudaku.
Damar menelpunku,
“Sayang, apa kabar? Aku kangen nih,
hehe”, katanya.
“Iya aku juga, kabar orangtua kamu
gimana?,” tanyaku berbasa-basi.
“Sehat kok, mereka seneng denger
tentang kamu. Emm, sayang, cinta itu indah ya. Seandainya aku gak bersama kamu
lagi, seenggaknya aku bahagia mencintai kamu. Yaudah ya sayang, aku mau pergi
dulu. Kamu sehat ya disana, luuup yuuuu. Assalamua’allaikum.” , katanya menjelaskan
dan mengakhiri.
“Wa’allaikumsalam..Hati-hati.”,
jawabku.
Aku heran, Damar tidak bebicara
seperti biasanya. Aku merasa ada yang aneh. Ya, mungkin hanya perasaanku. Pasti
dia baik-baik saja disana.
***
Hampir dua minggu akan berlalu.
Tapi, Damar tak juga menghubungiku, padahal sebentar lagi wisuda. Tiba-tiba HP
ku berdering,
“Halo, assalamu’alaikum Damar?”, tanyaku
senang ketika mejawab tilpun.
“Halo, Sabrina ya? Ini kakaknya
Damar, aku Rio. Emm, Damar..”, kak Rio terdiam.
“Iya kak Rio, Damar kenapa?”, aku
mulai khawatir.
“Sudah seminggu dia sudah dirumah
sakit, dia kecelakaan waktu bawa motor, tertabrak Mobil. Dia bilang untuk tidak
memberitahumu kalo dia sakit. Tapi, sekarang Damar udah gak ada, dia meninggal
tadi pagi. Maafkan Damar ya Sabrina, tolong do’akan dia”, kak Rio menjelaskan
hati-hati.
Kakiku terasa begitu lemas, aku
benar-benar tidak kuat menerima kenyataan ini. Air mataku beruraian dengan
deras. Bunda yang sedari tadi berada disebelahku bertanya dan memelukku,
“Kamu kenapa Bunga?”, tanya Bunda.
“Damar Bun,, Damar udah gak ada,,”
jelasku tak kuat dan aku pingsan.
***
Aku terbangun tiba-tiba aku sudah
berada di kamar kostku. Ada Bunda, Ayah, dan teman-temanku. Aku kembali menangis.
Aku meminta ijin pada Ayah dan Bunda untuk bisa kerumah Damar. Mereka pun
mengijinkanku.
Aku pergi ke Riau bersama Bunda.
Aku menemui keluarganya dan turut berduka cita. Aku mengunjungi kuburannya, aku
letakkan bunga mawar merah diatas kuburannya. Aku mendo’akannya, agar ia tenang
berada di sisi-Nya sekarang. Semoga dia bisa menyimpan cintaku lewat bunga itu
di sana.
Aku akan selalu mengenangnya.
Damar.
***
Waktu wisudaku pun telah tiba. Aku
mendapat gelar Cumlaude. Kedua Orangtuaku terlihat begitu senang melihatku.
Banyak teman-temanku yang mengajakku berfoto bersama. Aku persembahkan semua
ini juga untuk Damar.
Aku melihat Puya datang. Dia
mengahampiriku dan membawakanku bunga mawar putih.
“Selamat ya Bunga”, katanya
tersenyum padaku.
“Terimakasih Pu.”, aku pun
tersenyum
Aku dan Puya juga foto bersama.
***
Dua hari sudah, wisudaku berlalu.
Aku pulang ke Jakarta. Aku pajang semua foto-foto wisudaku bersama ayah.
Tiba-tiba, terdengar suara ketukan
pintu dari luar. Ku bukakan pintu, dan ku lihat Puya bersama orangtuanya. Ku
persilahkan mereka masuk. Aku dan orangtuaku bersama Puya dan orangtuanya
berkumpul di ruang tamu. Setelah berbincang-bincang, Puya bertanya padaku,
“Sab, Apakah kamu mau menerima
pinanganku?”, tanya Puya penuh harap.
“Iya, Aku mau.”, jawabku pelan.
Dan orang tua kita saling merestui.
***
Hidup tak ada yang bisa menerka
akhirnya. Bunga bukanlah sampah. Bunga tersimpan untuk seseorang yang begitu berarti.
Seperti Bunga mawar, dan bunga lainnya yang penuh warna, hidup ini juga penuh
warna. Tak ada yang abadi, yang abadi hanyalah kenangan. Dalam Cinta kita
belajar kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar